By: gegenie
on November 18, 2016
/
Mengenal Tokoh Betawi H. MUHAMMAD ARIF/H. DARIP (1886-1981) Panglima Perang Dari Klender
H. Muhammad Arif atau biasa dipanggil H. Darip
dilahirkan di Klender pada tahun 1886 dari pasangan H. Kurdin dan Hj.
Nyai. Ia anak ketiga dari tiga bersaudara. Ia tidak menempuh pendidikan
formal membaca dan menulis. Pelajaran membaca dan menulis huruf latin
justru diperolehnya saat dipenjara dan belajar dari temannya. Dalam
belajar agama, tidak diketahui kepada siapa H. Darip belajar agama akan
tetapi ada kemungkinan ia belajar agama langsung kepada ayahnya.
Pada
tahun 1914 ia pergi haji ke Makkah dan langsung menetap di sana untuk
memperdalam ilmu agama hingga kurang lebih dua tahun setengah (1916).
Pulang dari Mekah, H. Darip mengawali perjuangannya dengan berdakwah di
sebuah mushalla kecil, yang kini menjadi Masjid Al-Makmur yang cukup
megah di Klender dan berjuang bersama para ulama lain, yakni KH Mursyidi
dan KH Hasbiallah. Selain dikenal sebagai da’i, ia juga seorang yang
memiliki ilmu main pukulan (ilmu silat) yang lihai. Ia adalah seorang
tokoh yang disegani masyarakat, daerah kekuasaannya mencakup Klender,
Pulogadung, Jatinegara hingga sampai Bekasi.
Pada
saat terjadi revolusi fisik melawan Jepang dan Belanda, H. Darip
membentuk BARA (Barisan Rakyat). Ia mengumpulkan para tokoh, pemuda dan
jagoan yang tersebar di Klender dan sekitarnya. Di antara mereka yang
ikut bergabung adalah H. Hasbullah (Kakak dari KH. Hasbiyallah) dan KH.
Mursyidi. Mereka terlibat dalam pertempuran di beberapa front di kota
Jakarta. H. Darip sendiri saat itu dijuluki "Panglima Perang dari
Klender". Sebuah brosur dari Angkatan 45 DKI tanggal 17 Agustus
1985—empat tahun setelah Haji Darip meninggal dunia—menyebutkan, H.
Darip pada zaman penjajahan Belanda (sebelum perang dunia kedua),
berjuang bersama Soekarno bergerak di bawah tanah, terutama di
Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Ketika
pendudukan Jepang, menyaksikan kekejaman pasukan Dai Nippon ini, H.
Darip memimpin masyarakat di Klender dan menghimpun para jawara,
narapidana dan napi Rutan Cipinang untuk melakukan perlawanan terhadap
Jepang. Sewaktu dia masih memimpin pergerakan dari Klender, banyak para
pemimpin yang datang bahkan menginap di kediamannya, di antaranya
Soekarni, tokoh Murba, Kamaludin, Syamsuddin orang Padang, dan Pandu
Kartawiguna. Mereka menginap di rumah H. Darip dan menyatakan kepadanya
bahwa sebentar lagi Indonesia akan merdeka dan mereka membicarakan
pengusiran orang Jepang.
Anak buah H. Darip yang
tergabung dalam BARA dimandikan oleh H. Darip kemudian diisi badannya
dengan ilmu kebal lalu dicoba dengan dibacok badannya dengan golok.
Setelah dirasa memiliki ilmu kebal maka pasukan BARA diperbolehkan untuk
berjuang mengusir Jepang. H. Darip memerintahkan anak buahnya untuk
menyerbu dan mengusir tentara Jepang di Pangkalan Jati, Pondok Gede,
Cipinang Cempedak, sepanjang Kali Cipinang dan lain-lain. Anak buah H.
Darip bahkan sampai membunuh tentara Jepang. Hal tersebut dilakukan oleh
anak buah H. Darip karena jika tentara Jepang tidak dibunuh maka anak
buah H. Darip yang terbunuh karena tentara Jepang mempunyai senjata api
sedang anak buah H. Darip hanya mempunyai kekuatan fisik dan golok saja.
Beberapa sumur di Klender dan sekitarnya tidak ada yang mau minum
airnya karena penuh dengan bangkai tentara Jepang, begitupula dengan
sungai Sunter yang dipenuhi dengan mayat tentara Jepang.
Setelah
berhasil mengerahkan rakyat yang dihimpun dan dipimpinnya untuk
menghabiskan tentara Jepang yang bertugas di pinggiran, maka H. Darip
menyadari bahwa kekuatan rakyat tidak akan berarti jika tidak dilengkapi
dengan peralatan senjata, logistik dan persediaan makanan. Kira-kira
seminggu sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, H. Darip
mendatangi Camat Klender dan meminta segala pakaian rakyat yang akan
dibagikan jangan dikeluarkan sebelum saatnya tiba dan menunggu komando
darinya.
H. Darip juga mendatangi kantor polisi yang
masih di bawah kekuasaan Jepang. Ia meminta supaya senjata-senjata yang
ada di kantor polisi jangan diserahkan kepada Jepang, melainkan harus
diserahkan kepada rakyat nanti. Lalu H. Darip menyuruh komandan polisi
membuat pernyataan dan membubuhkan tanda tangannya untuk menyerahkan
senjata kepada rakyat. Kemudian H. Darip pergi ke Seksi Tujuh. Ia
bertemu dengan Darmatin dan Juhra anak Banten dan Sukahar dan meminta
kepada mereka agar persenjataan yang ada di sana diserahkan kepada
rakyat. Kemudian H. Darip menuju penjara Cipinang. Direkturnya diberi
tahu hal yang sama dengan apa yang dikatakan pada Camat, Kepala polisi
maupun Komandan Seksi VII. Pada saatnya pula nanti H. Darip meminta agar
para tahanan dilepaskan. Ia juga datang ke Seksi V dan melakukan hal
yang sama.
Hari Proklamasi makin dekat dan keadaan
makin panas saja. Tetapi dia telah mempersiapkan anak buahnya. Dia juga
mendatangi gudang-gudang beras di Klender untuk memblokir beras yang ada
jangan sampai keluar dari Klender. Maka jadilah Klender wilayah
pertahanan yang merupakan gudang makanan dan persenjataan ala kadarnya.
H. Darip mempersiapkan hal tersebut di atas setelah mendapat informasi
dari Soekarni bahwa Indonesia sebentar lagi akan merdeka. Informasi itu
diperoleh ketika terjadi serangan bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus
1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945 oleh Amerika Serikat atas perintah
Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman. Setelah pengeboman tersebut
maka pada 15 Agustus, Jepang mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa
syarat kepada Sekutu. Berita ini diketahui oleh kalangan pemuda bangsa
Indonesia melalui berita siaran radio BBC (British Broadcasting
Corporation) London. Pada saat yang sama Soekarno dan Hatta baru kembali
ke tanah air memenuhi panggilan Panglima Mandala Asia Tenggara,
Marsekal Terauchi di Saigon, Vietnam.
Saat kembali
ke tanah air, Soekarno ditemui para pemuda untuk membicarakan
kemerdekaan Indonesia. Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00
WIB, Soekarno dan Hatta "diculik" dan dibawa ke Rengasdengklok,
Karawang oleh para pemuda di antaranya Soekarni, Chaerul Saleh dan
lain-lain. Dalam peristiwa Rengasdengklok itu, H. Darip menjadi saksi
hidup ketika para pemuda mendesak Soekarno Hatta agar mempercepat
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Kemudian
Soekarno Hatta ditempatkan di suatu rumah yang tidak layak di pinggir
kali. Lalu H. Darip meminta kepada Soekarni dan kawan-kawannya agar
Soekarno Hatta di tempatkan di rumah yang layak karena Soekarno Hatta
adalah calon pemimpin yang harus dihormati. Atas permintaan H. Darip
maka Soekarni dan kawan-kawan menempatkan Soekarno Hatta di rumah
perkampungan milik warga Tionghoa, Djiaw Kie Siong.
Pada waktu itu Soekarno dan Hatta menginginkan agar proklamasi dilakukan
melalui PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sementara
golongan pemuda menginginkan agar proklamasi dilakukan secepatnya tanpa
melalui PPKI yang dianggap sebagai badan buatan Jepang. Selain itu, hal
tersebut dilakukan agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh
Jepang. Para golongan pemuda khawatir apabila kemerdekaan yang
sebenarnya merupakan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia, menjadi
seolah-olah merupakan pemberian dari Jepang.
Setelah
melalui perundingan yang panjang akhirnya disepakati bahwa proklamasi
kemerdekaan dilaksanakan pada 17 Agustus di Jakarta kemudian bendera
Merah Putih dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok pada Rabu tanggal
16 Agustus, sebagai persiapan untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pada akhirnya, tepatnya hari Jumat, 17 Agustus 1945 atau bertepatan
dengan 09 Ramadlan 1364 H, Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamirkan
kemerdekaan Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan tersebut disambut
suka cita oleh seluruh rakyat Indonesia, tak ketinggalan rakyat yang
berada di Klender dan sekitarnya. Setelah proklamasi kemerdekaan,
Soekarno berkunjung ke Klender dan memimpin rapat akbar di sana serta
meminta rakyat Klender ikut membantu mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.
Selanjutnya H. Darip memerintahkan
rumah-rumah di Klender menaikkan bendera merah putih. Pabrik-pabrik di
Klender, Cipinang, Jatinegara dan lain-lain diperintahkan mengganti
bendera Jepang dengan merah putih. H. Darip juga meminta agar pabrik
tidak mengeluarkan beras kecuali untuk makan laskar rakyat. Setelah
berhasil menghimpun senjata, makanan dan pakaian, H. Darip memerintahkan
anak buahnya untuk menjaga ketat wilayah Klender agar tidak dimasuki
tentara Jepang atau mata-mata Jepang.
Setelah Jepang
menyerah dan kembali ke negerinya, Belanda dan tentara sekutu berusaha
kembali menjajah Bangsa Indonesia. H. Darip bersama pasukan BARA
bersiap-siap untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang
diamanatkan oleh Soekarno saat rapat akbar di Klender.
Pada suatu penyerangan, Klender berhasil diduduki Belanda dan sekutu
sehingga H. Darip dan pasukan BARA hijrah ke beberapa tempat seperti
Tambun, Cikarang, Lemah Abang, Bekasi, Cikampek, Karawang hingga ke
Purwakarta dan membentuk BPRI (Barisan Pejuang Rakyat Indonesia) Jakarta
Raya. Dari tempat persembunyiannya—dengan pangkat Letnan Kolonel
Tituler—ia bermarkas di Purwakarta dan menyusun strategi melawan NICA
Belanda.
Suatu ketika benteng pertahanan di
Purwakarta diserang oleh Belanda melalui hujan bom dan peluru dari udara
dan darat sehingga H. Darip dan pasukannya harus mengungsi ke hutan.
Perjalanan ke hutan sangat memprihatinkan, terlebih di antara 4 (empat)
isteri H. Darip ada yang sedang hamil dan ada yang mempunyai bayi yang
masih kecil. Mereka harus turun naik bukit, menyebrang sungai dan
menahan lapar dan dahaga. Jika rasa lapar dan dahaga tidak tertahankan
mereka singgah ke rumah penduduk setempat untuk meminta makanan dan
minuman. Di kemudian hari untuk keselamatan anak dan isteri-isterinya,
H. Darip mengirimkan mereka ke Klender dan berpesan agar tidak
memberitahukan kepada siapapun tentang posisi H. Darip dan pasukannya.
Pada saat memasuki bulan puasa, H. Darip dan
pasukannya tetap berpuasa dan berjuang melawan Belanda. Mereka dari
Parakan Lima menuju hutan Cempaka, hutan Bendul, Kembang Kuning dan
Cibatu. Di hutan Cempaka H. Darip menghimpun kekuatan dan mengatur
strategi untuk menyerang musuh. Pertahanan Belanda di Purwakarta
kerapkali dibuat panik oleh serangan mendadak yang tidak terduga di
malam hari atau menjelang subuh hingga suatu ketika Jayusman, anak buah
H. Darip yang berasal dari Banten tertangkap. Ia ditembak tetapi tidak
mempan dan akhirnya ia tewas setelah dipulir kepalanya.
Belanda
berusaha keras untuk menangkap H. Darip akan tetapi usaha itu sia-sia.
Bahkan Belanda menjanjikan hadiah besar bagi orang yang bisa menangkap
H. Darip. Pada akhirnya Belanda mengirim mata-mata untuk bergabung dan
menjadi anak buah H. Darip. Tersebutlah Jami dan Sarosa yang menjebak
dan membujuk H. Darip agar pergi ke Jogjakarta untuk kembali dekat
dengan Soekarno. Sejak Januari 1946 Ibukota memang pindah dari Jakarta
ke Jogjakarta.
Sarosa berangkat mendahului. Kemudian
menyusul H. Darip, Jami dan Entong, anak perawat kuda yang berumur 13
tahun. Ketika malam hari melewati hutan Jati, Sadang Purwakarta H. Darip
disergap Belanda. H. Darip diikat erat dengan kabel listrik dan dibawa
memakai mobil Jeep. Jami tidak terlihat ditangkap. Akhirnya ia menyadari
bahwa ia dijebak dan dikhianati oleh Jami. Dari Sadang H. Darip dibawa
ke Jakarta kemudian dimasukkan ke sel Polisi I Kebayoran selama tiga
hari lalu dipindah ke Ancol. Dalam kondisi tetap diikat dengan kabel
listrik, H. Darip disiksa dengan gagang senapan dan dipukul bertubi-tubi
sampai akhirnya H. Darip dijebloskan ke tahanan Glodok, Jakarta Kota
(kini merupakan bagian dari pertokoan Harco) pada tahun 1948.
Berita tertangkapnya H. Darip sampai ke anak buahnya. Mereka sangat
marah ternyata pimpinannya tertangkap karena dijebak dan dikhianati oleh
Jami. Kemudian anak buahnya mencari-cari Jami hingga akhirnya Jami
ditangkap dan tewas dibunuh oleh anak buah H. Darip yang setia.
Pada akhir tahun 1949 H. Darip menulis surat kepada Soekarno agar ia
dibebaskan dari penjara. Konon surat tersebut diterima oleh Fatmawati,
istri Soekarno di Istana Negara. Tetapi Soekarno tidak bisa membebaskan
H. Darip. Setelah penyerahan kedaulatan pada akhir Desember 1949, H.
Darip akhirnya dibebaskan dari penjara. Para anak buahnya yang hampir
100 orang menyambut H. Darip di luar penjara dan membawa ke rumah
Ghozali di Kebon Jahe kemudian ke Klender. Rumahnya di Klender sudah
habis dibakar oleh Belanda saat ia di penjara. Lalu bersama-sama anak
buahnya dan rakyat Klender secara gotong royong membuat rumah sederhana
untuk H. Darip.
Pada Mei atau Juni 1950 H. Darip
dipanggil Soekarno ke Istana Cipanas. Ia dijemput oleh Letnan Ishaq
Latief. Dalam pertemuan tersebut dihadiri oleh Menteri Pertahanan
Hamengkubuwono. Soekarno menyambut dan memeluk H. Darip sambil menangis.
Soekarno lalu menjelaskan surat H. Darip yang dikirimkan untuknya.
Soekarno merasa yakin bahwa H. Darip akan bebas dan tidak akan mati di
penjara.
Pada tahun 1950 ketika keamanan Jakarta
belum sepenuhnya stabil, foto H. Darip terjual habis. Masyarakat
Jakarta, khususnya Klender dan terutama keturunan Cina akan merasa aman
jika rumahnya terpampang foto H. Darip. Para pencoleng dan gerombolan
penjahat tidak akan menggangu rumah atau toko yang terpampang foto H.
Darip.
H. Darip adalah rakyat biasa yang kemudian
memimpin rakyat untuk melawan dan mengusir penjajah. Ia memiliki wibawa
sehingga bisa menggerakan api semangat perlawanan terhadap penjajah. Ia
juga berjuang tanpa pamrih sehingga ia tidak memperdulikan gelar veteran
dan pahlawan. Di akhir masa hidupnya, ia menghabiskan waktu untuk
berdakwah di Klender dan sekitarnya untuk mengamalkan ilmu yang ia dapat
saat belajar di Makkah.
H. Darip meninggal di
Jakarta pada 13 Juni 1981 dan dimakamkan di Pemakaman Wakaf Ar-Rahman
Jalan Tanah Koja II, Jatinegara Kaum, Pulogadung Jakarta Timur
bersebelahan dengan makam salah satu istrinya, Hj. Hamidah.
Tag:
Ulama Betawi
gegenie's Admin
We are.., This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.