Makam Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah di Cipayung, alim ulama pencetus nama Lubang Buaya, |
CIPAYUNG - Kelurahan Lubang Buaya di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, dikenal sebagai lokasi tujuh Pahlawan Revolusi dibunuh pada 1965. Jauh sebelum peristiwa berdarah itu, Lubang Buaya sudah ada dan digunakan sebagai nama lokasi yang berbatasan dengan Pondok Gede.
Adalah
sosok almarhum Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah pencetusnya.Dia
seorang alim ulama sekaligus pejuang di masa penjajahan Belanda.Yanto Wijoyo (45) adalah keturunan kesembilan
Mbah Datuk Banjir. Ia mengatakan pencetusan nama Lubang Buaya itu berawal
saat leluhurnya melakukan perjalanan ke Jakarta pada abad 7.
"Menurut cerita kake knenek saya, sebelum sampai kemari melakukan perjalanan melalui rute Kali Sunter. Mengendarai kendaraan dari bambu, disebut getek kalau enggak salah," kata Yanto. Dalam perjalanannya itu, getek yang digunakan Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah seolah tersedot ke lubang hingga menyentuh bagian dasar Kali Sunter.
Namun, Mbah Datuk Banjir tidak sampai terseret ke lubang, dia berhasil tiba di daratan."Memang di Kali Sunter itu ada penguasanya zaman dulu. Ya selain buaya-buaya biasa ada penguasa gaib yang disebut siluman buaya putih," ujarnya.Merujuk keterangan leluhurnya, buaya putih penguasa Kali Sunter tersebut dikisahkan bernama Pangeran Gagak Jakalumayung yang memiliki anak berjuluk Mpok Nok. Mpok Nok berwujud buaya tanpa ekor atau disebut warga buaya buntung.
Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah pun lalu berkelahi dengan keduanya."Mbah Datuk Banjir kan datang kemari sebagai pendatang. Masuk di kampung ini berhadapan dengan halangan-halangan daripada jin, penguasa Kali Sunter. Akhirnya bisa ditaklukkan dan akhirnya bisa dijadikan, bahasa kasarnya santrinya lah," tuturnya.
Setelah menaklukkan 'penguasa' Kali Sunter, Mbah Datuk Banjir mencetuskan nama Lubang Buaya, kala itu nama tersebut mengacu pada kampung. Dalam menyebarkan agama Islam, Mbah Datuk Banjir disambut baik warga setempat yang kala itu bertani padi sebagai profesi utamanya.
Warga Lubang Buaya diajarkan ilmu bela diri untuk melawan penjajah Belanda yang datang menaklukkan Jakarta. "Mbah Datuk Banjir secara enggak langsung melindungi Kampung Lubang Buaya ini dengan bentuk kesakitan dan karmahnya. Sehingga kampung ini terlihat seperti laut, tidak bisa diinjak penjajah Belanda, enggak bisa masuk," lanjut Yanto.
Dikisahkan, Mbah Datuk Banjir
memiliki sejumlah senjata pusaka yang digunakan untuk berperang.
Dua di antaranya Golok Si Bule dan Keris Bengkok. Kedua benda pusaka ini kini
tersimpan di area pemakaman Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah.
"Meninggalnya
bukan saat berperang, kalau bahasa spiritualnya memang sudah harus
pindah," sambung Yanto. Hingga saat ini, peziarah banyak mendatangi
makam Mbah Datuk Banjir untuk mendoakan dan mengingat jasa-jasanya dalam
penyebaran Islam.
Aparat Dilarang Pakai Seragam
Meski akses menuju makam Mbah Datuk Banjir berupa jalan setapak yang, bahkan sulit dilalui sepeda motor karena kondisi jalan yang masih berupa tanah. Yanto bercerita siapa pun diperbolehkan berziarah, tapi ada satu pantangan yang berlaku."Misalnya mau datang kemari enggak boleh pakai seragam, khususnya tentara dan polisi. Setahu saya yang dilarang itu seragam aparat. Bukan enggak boleh, tapi dianjurkan jangan memakai seragam," kata Yanto.
Pantangan tersebut merupakan pesan Mbah Datuk Banjir. Tidak diketahui pasti alasan adanya pantangan tersebut, namun Yanto menduga hal itu tidak lepas dari perjuangan leluhurnya sebagai pejuang saat mengusir penjajah. "Mungkin karena terjadi perang, kekejaman segala macam dipesan seperti itulah. Kalau (pantangan ziarah) yang umum ya kan istilahnya kalau perempuan lagi datang bulan kan enggak boleh ziarah. Kalau di sini ya pantangan ketika ziarah enggak boleh pakai seragam atribut kedinasan aparat," ujarnya. Pernah ada aparat yang datang mau ziarah, sudah dianjurkan untuk melepas seragam tapi enggak mau. "Akhirnya ada saja yang istilahnya kena yang kurang bagus. Seperti dia jalan masuk terus jatuh, benjol," tuturnya. Dalam kasus lain Yanto menyebut ada aparat merasa seolah-olah tenggelam saat masuk ke area makam karena mengabaikan pantangan untuk melepas seragam dinasnya.
Lalu ada peziarah merasa kakinya seperti terperosok ke dalam lantai karena menolak mengikuti pantangan Mbah Datuk Banjir."Kita kan sudah bilang baik-baik. Artinya apa salahnya, kalau memang kita enggak cocok (dengan pantangan melepas seragam dinas saat ziarah) ya pulang. Di sini kan amanah, bukan profesi. Makannya saya benar-benar menertibkan banget orang yang pada ziarah," lanjut Yanto. Selain makam Mbah Datuk Banjir, di area makam terdapat delapan pusara keturunan Mbah Datuk Banjir yang jadi juru kunci makam.
Hanya makam Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah yang dikeramatkan, lokasinya berada dalam satu ruang dengan lebar sekitar 3 meter dan panjang 4 meter. Untuk memasuki ruang makam Mbah Datuk Banjir yang terdapat satu kelambu, dan dua guci di kanan dan kiri, peziarah harus lebih dulu menemui Yanto pemilik kunci ruangan.
No comments: