JIC – Dari hasil penelitian Ridwan Saidi
dikatakan bahwa ulama Betawi yang pertama yang dapat dilacak jejaknya
adalah Syekh (Syaikh) Quro, Karawang. Alasan Syeikh Quro dijadikan
sebagai ulama Betawi pertama oleh Ridwan Saidi karena kiprahnya dalam
mengislamkan orang-orang Betawi yang berada di Karawang, walau Syekh
Quro berasal dari Campa (Kamboja) bahkan ia memiliki murid yang kemudian
menyebarkan Islam sampai ke wilayah Sunda Kalapa (Jakarta). Karawang
sendiri, menurut Ridwan Saidi, termasuk dalam wilayah kebudayaan Betawi.
Diterimanya Syekh Quro oleh orang Betawi di Karawang karena ia adalah orang Campa. Menurut Ridwan Saidi, orang Campa adalah orang Melayu yang pernah memiliki kerajaan. Mereka mempunyai hubungan erat dengan orang-orang Malabar yang juga akrab dengan orang-orang di Jawa bagian barat sejak kurun sebelum Masehi. Baik orang Campa maupun orang Betawi sudah biasa dengan kehidupan yang pluralis. Maka transformasi nilai-nilai Islam ke aorta komunitas Betawi tidak mengalami kesulitan. Kisah orang Campa yang menyiarkan Islam di Karawang tidak hanya berhenti di Syekh Quro. Di Batu Jaya, Karawang terdapat sebuah makam yang dihormati berlokasi di tepi kali Citarum. Makam itu adalah makam Guru Toran yang berdarah Campa.
Nama lain Syekh Quro adalah Syekh
Qurotul`ain, Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanuddin. Ia dipanggil
Syekh Quro karena ia ahli ngaji atau qira`at yang sangat merdu. Tidak
diketahui mengapa ia dipanggil Syekh Qurotul`ain atau Syekh
Mursyahadatillah. Sedangkan nama Syekh Hasanuddin diyakini sebagai nama aslinya. Syekh Quro adalah putra dari salah
seorang ulama besar di Makkah, yaitu Syekh Yusuf Siddik yang menyebarkan
agama Islam di Campa. Syekh Yusuf Siddik masih keturunan Sayidina
Husain bin Sayyidina Ali Karamallaahu wajhah. Tidak diketahui
dengan pasti tentang riwayat masa kecil dari Syekh Quro. Sumber tertulis
hanya menjelaskan bahwa pada tahun 1409 masehi, setelah berdakwah di
Campa dan Malaka, Syekh Quro mengadakan kunjungan ke daerah Martasinga
Pasambangan dan Japura hingga akhirnya sampai ke pelabuhan Muara Jati,
Cirebon. Kedatangan Syekh Quro disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa
atau Ki Gedeng Jumajan Jati yang masih keturunan dari Prabu Wastu
Kencana. Demikian juga masyarakat di daerah tersebut yang sangat
tertartik oleh sifat, sikap dan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro,
sehingga mereka banyak yang menyatakan memeluk agama Islam. Kegiatan dakwah yang dilakukan Syekh
Quro ini ternyata sangat mencemaskan Raja Pajajaran yang ketika itu
dijabat oleh Prabu Anggalarang. Syekh Quro diminta oleh Raja Pajajaran
ini untuk menghentikan kegiatan dakwahnya. Permintaan ini dipatuhi oleh
Syekh Quro. Tidak lama kemudian, Syekh Quro mohon pamit, dan Ki Gedeng
Tapa sendiri merasa prihatin atas peristiwa yang menimpa ulama ulama
basar itu. Sebab, ia pun ingin menambah pengetahuannya tentang agama
Islam, karenanya ketika Syekh Quro kembali ke Campa, putrinya yang
bernama Nyi Mas Subang Larang, dititipkan ke Syekh Quro untuk didik
agama Islam di Campa. Beberapa tahun kemudian, Syekh Quro
kembali ke wilayah Pajajaran. Ia kembali bersama pengiringnya menumpang
kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju
Majapahit. Di Pura Karawang, Syekh Hasanuddin
beserta para penggiringnya turun di Karawang. Di antara anggota
pengiringnya tersebut adalah Nyi Mas Subang Larang, Syekh Abdul Rahman,
Syekh Maulana Madzkur dan Syekh Abdillah Dargom alias Darugem alias
Bentong bin Jabir Mudofah. Karena perilaku yang simpatik, pada tahun
1418, Syekh Quro dan pengiringnya diberikan izin oleh aparat setempat
untuk mendirikan Musholla sebagai sarana ibadah sekaligus tempat
tinggal, yang menjadi pondok pesantren di pertama di Karawang bahkan
mungkin di Indonesia. Musholla ini juga menjadi cikal bakal Masjid
Agung Karawang sekarang ini. Berita kedatangan dan kegiatan Syekh
Quro di Karawang terdengar oleh Prabu Anggalarang yang kemudian mengutus
utusannya menutup pesantren Syekh Quro. Utusan yang datang itu dipimpin
oleh putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa. Sesampainya di
pesantren Syekh Quro, Raden Pamanah Rasa tertarik oleh alunan suara
merdu pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur`an yang dikumandangankan oleh Nyi
Mas Subang Larang sehingga ia mengurungkan niatnya untuk menutup
Pesantren Syekh Quro. Selain itu, Raden Pamanah Rasa jatuh hati kepada
Nyi Mas Subang Larang. Akhirnya, keduanya menikah setelah Raden Pamanah
Rasa masuk Islam. Dari pernikahan ini mereka mendapatkan tiga orang
putra-putri, yaitu Raden Walangsungsang, Nyi Mas Rara Santang, dan Raja
Sangara. Raja Sangara terkenal dengan nama Prabu Kian Santang (Sunan
Rohmat) penyebar agama Islam di tanah Sunda. Bahkan menurut Ridwan
Saidi, Kian Santang juga penyebar agama Islam di tanah Betawi, khususnya
di daerah Karawang. Menjelang akhir hayatnya, Syekh Quro
melakukan ujlah atau menyepi diri dari pesantrennya ke salah satu Dusun
Pulobata, Desa Pulokalapa yang sekarang masuk ke dalam wilayah kecamatan
Lemahabang yang masih berada di wilayah Karawang. Ada keterangan yang
menarik mengenai letak kuburan Syekh Quro. Menurut pengakuan salah satu
imam Masjid Agung Karawang. Syekh Quro wafat dan dikuburkan persis di
depan Masjid Agung Karawang kini yang kini ditutupi oleh tembok. Hal
ini dilakukan agar orang tidak ramai menziarahi kuburannya dan
mengkultuskannya. Namun, di buku Ikhthisar Sejarah Singkat Syekh Qurotul`ain dikatakan
bahwa makam Syekh Quro berada di Pulobata sehingga banyak orang yang
datang menziarahinya untuk berbagai keperluan. Dari pengakuan E. Sutisna
(keturunan dari Raden Somaredja yang menemukan malam tersebut) makam
Syekh Quro yang berada di Pulobata adalah ”maqam” atau petilasan, bukan
kuburannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang berada di Masjid Agung
Karawang adalah kuburan dari Syekh Quro, bukan yang berada di Pulobata.
Sumber:
- Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Jakarta Islamic Centre, 2009
No comments: