Di Lebaran Betawi pada Sabtu, 29 Juli 2017, sekelompok seniman tanjidor tampak memainkan alat musik mereka. Seniman tanjidor ini sigap menyambut setiap pengunjung yang hendak menikmati perhelatan akbar Lebaran Betawi di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Satu buah lagu lagi dimainkan, sementara penonton yang terpukau sibuk mengambil gambar atau merekamnya. Sebagian mencuri-curi kesempatan untuk berfoto bersama untuk diunggah ke media social masing-masing. Ya, dewasa ini memang sebuah kesempatan langka bisa melihat permainan musik tanjidor secara langsung. Saat saya kecil, adegan Atun—diperankan Suti Karno–yang terjepit terompet tanjidor dalam Si Dul Anak Sekolahan begitu membekas. Ini barangkali menjadi salah satu momen ikonik yang paling diingat dari serial yang juga dibintangi Benyamin Suaeb tersebut. Balik lagi ke tanjidor, jika ditelusuri sejarahnya, diperkirakan tanjidor berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Nusantara pada abad ke-14 hingga ke-16. Musik ini dimainkan secara berkelompok, kira-kira enam hingga sepuluh orang, dan kental dengan pengaruh Eropa. Majalahpraise.com menulis kata “tanjidor” berasal dari bahasa Portugis tangedor yang berarti ‘alat-alat musik berdawai (stringed instruments)’. Namun, kini tanjidor tidak sesuai lagi dengan istilah asli dari Portugis itu. Yang masih sama adalah sistem musik (tonesystem) dari tangedor, yakni sistem diatonik atau 12 nada berjarak sama rata (twelve equally spaced tones). Ensambel Tanjidor terdiri dari beragam alat musik, yakni klarinet (tiup), piston (tiup), trombon (tiup), saksofon tenor (tiup), saksofon bas (tiup), drum (membranofon), simbal (perkusi), dan side drums (tambur) Sebagian kalangan menyakini di masa lampau pemain musik tanjidor adalah para budak yang dibayar untuk menghibur tuannya. Hal ini tercantum dalam buku Mayor Jance yang diterbitkan oleh Masup Jakarta dengan saya sebagai editornya pada 2008. Dalam kisah yang ditulis Johan Fabricius itu, dikisahkan sang tuan tanah kaya asal Cileungsi itu hidup bergelimang kesenangan. Siang harinya ia tidur siang setelah menghisap candu dan saban pekan ia menggelar pesta ekstravaganza. Dalam pestanya, ia menghadirkan kumpulan budaknya yang khusus dipekerjakan sebagai pemain musik. Musik-musik yang dimainkan pun mengalami percampuran karena bercampurnya etnis budak-budak sang mayor dan ditambah dengan sebagian alat musiknya yang merupakan alat musik tiup. Dalam kisah yang lain, orkes tanjidor juga menghibur dalam sebuah pameran ketangkasan berupa pawai berkuda angkatan bersenjata di Lapangan Banteng. Sangat mungkin ada serdadu yang dilatih bermusik untuk memainkan lagu-lagu mars. Sementara cerita yang lain mengisahkan bahwa tanjidor seringkali mentas keliling kampung dalam rangka Cap Go Meh. Di depan mereka ada ondel-ondel yang turut berkeliling untuk mengamen. Sejalan dengan itu, laman Jakarta.go.id menyebutkan Ernst Heinz, seorang ahli musikologi Belanda yang meneliti musik rakyat di pinggiran Jakarta tahun 1973 berpendapat musik tanjidor berasal dari budak belian yang ditugaskan bermain musik untuk majikannya. Mula-mula pemain musik terdiri atas budak dan serdadu. Sesudah perbudakan dihapuskan, mereka digantikan pemusik bayaran. Tetapi yang jelas para pemusik itu orang Indonesia yang berasal dari berbagai daerah, diberi alat musik Eropa dan disuruh menghidangkan bermacam musik pada berbagai acara. Alat musik yang dipakai kebanyakan alat musik tiup, seperti klarinet, terompet Prancis, komet dan tambur Turki. Pada mulanya mereka memainkan lagu-lagu Eropa karena harus mengiringi pesta dansa, polka, mars, lancier dan lagu-lagu parade. Lambat laun mereka juga mulai memainkan lagu-lagu dan irama khas Betawi. Instrumen yang kuat-kuat ini bisa dipakai turun-temurun. Setelah pemain tidak lagi menjadi bagian dalam rumah tangga orang Barat, lahirlah rombongan-rombongan amatir yang tetap menamakan diri
“tanjidor”. Mulanya kesenian tanjidor berkembang pesat di luar kota benteng Batavia, terutama di wilayah dengan perkebunan yang luas, seperti di Cililitan, Cipinang, Pondok Gede, Ciseeng, Cimanggis, dan Cileungsi. Adapun repertoar tanjidor merupakan hasil perkawinan antara lagu Betawi asli (kromongan), laras Mandalungan, lagu zaman Belanda yang merupakan lagu mars (mares Merin, dari kata Marine, mares Duelmus, dari kata Wilhelmus) dan walsa (lagu musik dansa). Adapun lagu-lagu yang dinyanyikan adalah “Ramton”,” Bananas”,” Cente Manis”,” Keramat Karam (Kramat Karem)”,” Merpati Putih”, dan “Surilang. Di masa kini, tanjidor seringkali dimanfaatkan dalam seremonial penyambutan tamu, upacara pindah rumah, maupun dalam kegiatan yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta.Bahkan, bisa dibilang perhatian Pemerintah Provinsi DKI dalam pelestarian tanjidor pun cukup jempolan. Apalagi tanjidor masuk dalam kesenian khas Betawi yang patut dilestarikan.Seperangkat alat musik tanjidor lengkap dikirimkan ke sanggar-sanggar sebagai bentuk kepedulian pemerintah. Namun, salah seorang seniman tanjidor di Jakarta Selatan yang saya temui beberapa waktu lalu pernah mengatakan seperangkat alat musik dari pemerintah itu tidak dipakainya karena “tidak enak”. Ia lebih suka memakai alat musik yang didapatnya secara turun-temurun. Kalau ada yang rusak, mereka pun akan menambalnya. Bahkan, seraya berbisik ia menyebut dalam klarinet yang ditiupnya ada “penunggunya”. Meski perhatian dari pemerintah sudah baik, masih ada hal yang mengganjal di benak para pemusik tanjidor. Mereka mengeluhkan sulitnya mencari generasi penerus di kalangan anak muda yang sukarela mempelajari musik tanjidor. Jika tak ingin musik khas ini lenyap, tentu regenerasi patut dipikirkan.
No comments: