secara geografis terletak di pulau Jawa yang penduduknya umumnya
bermukim di Jakarta. Secara sosiokultural suku Betawi lebih dekat kepada
budaya Melayu Islam. Tak heran jika Betawi banyak melahirkan alim ulama
dan dai-dai populer.
Kehidupan dan tradisi Betawi yang identik
dengan Islam tentu tak lepas dari pengaruh ulama-ulama terdahulu. Dalam
adat Betawi, seorang guru dipandang orang yang sangat alim dan tinggi
ilmunya sehingga wajib dihormati.
Cerita Pagi kali
ini akan menceritakan kisah seorang ulama Betawi yang masyhur di Tanah
Suci. Berkat pengaruh dan keluasan ilmunya, suku Betawi pun menjadi
populer di mancanegera.
Ia adalah Syekh Junaid, seorang ulama
Betawi kelahiran Pekojan, Jakarta Barat, atau dikenal dengan nama Syekh
Junaid Al-Batawi. Ia sangat dihormati karena menjadi imam besar dan guru
di Masjidil Haram.
Tak banyak informasi tentang kelahiran Syekh
Junaid secara detil. Sejumlah sumber hanya menyebutkan bahwa Syekh
Junaid bermukim di Mekkah sejak tahun 1834. Beliau lahir di Pekojan dan
wafat pada tahun 1840 saat usianya lebih dari 100 tahun.
Seperti disebutkan Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2001)
mengatakan, nama Betawi baru populer pada abad ke-19, ketika Syekh
Junaid Al-Batawi mengajar di Masjidil Haram. Menurut Alwi Shahab, sejak
usia 25 tahun Syekh Junaid beserta keluarganya mulai menetap di Mekkah.
Syekh
Junaid adalah sosok ulama yang dihormati di Tanah Suci selain Syekh
Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkawabi yang juga
pernah menjadi imam di Masjdil Haram. Sebelum Syekh Nawawi dan Syekh
Ahmad Khatib menjadi imam di Masjidil Haram, Syeikh Junaid Al-Batawi
lebih dulu menjadi imam besar di Masjidil Haram. Syekh Junaid Al-Batawi
menjadi ulama Indonesia pertama yang menjadi imam di Masjidil Haram.
Karena
keluasan ilmunya, Syekh Junaid Al-Batawi, disebut-sebut sebagai
syaikhul masyaikh para ulama mazhab Syafi’i. Nama Betawi pun menjadi
masyhur di Tanah Suci berkat sosoknya.
Syekh Junaid mempunyai
dua putera dan dua puteri. Salah satu puterinya menikah dengan Abdullah
Al-Misri, seorang ulama Mesir, yang makamnya terdapat di Jatipetamburan,
Jakarta Pusat. Seorang puteri lainnya menikah dengan Imam Mujtaba.
Sedangkan kedua puteranya, Syekh Junaid As’ad dan Arsyad, menjadi
penerus ayahnya mengajar di Masjidil Haram.
Seperti dikutip dari Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Jakarta Islamic Centre, (2009) yang dipublikasikan di situs muidkijakarta.or.id tahun
2014 silam menyebutkan, satu-satunya ulama Betawi yang memiliki
pengaruh di dunia Islam pada awal ke-19 serta menjadi poros atau ujung
puncak utama silsilah ulama Betawi masa kini adalah Syekh Junaid
Al-Batawi.
Mengenai tanggal lahirnya, tidak diketahui secara
pasti. Tahun wafatnya pun belum diketahui dengan jelas. Alwi Shahab
menuliskan tahun 1840 sebagai tahun wafat Syekh Junaid. Padahal menurut
Ridwan Saidi, pada tahun 1894-1895 ketika Snouck Hurgronje menyusup ke
Makkah, diketahui Syekh Junaid masih hidup dalam usia yang sangat
lanjut.
Syekh Junaid Al-Batawi adalah ulama Betawi yang lahir di
Pekojan yang berpengaruh di Makkah walau hanya enam tahun bermukim di
sana. Ia imam Masjidil Haram, Syaikhul Masyaikh yang terkenal di
seantero dunia Islam sunni dan mazhab Syafi’i sepanjang abad ke-18 dan
19.
Syekh Junaid mempunyai banyak murid yang kemudian menjadi
ulama terkemuka di Tanah Air bahkan di dunia Islam. Di antaranya, Syekh
Nawawi Al-Bantani Al-Jawi pengarang Tafsir Al-Munir dan 37 kitab lainnya
yang masih diajarkan di berbagai pesantren di Indonesia dan luar
negeri. Kemudian Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam, dan guru
besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20.
Syekh Nawawi Al-Bantani dikenal sangat dekat dengan gurunya Syekh
Junaid. Karenanya, untuk menghormati gurunya itu pada setiap haul Syaikh
Nawawi, selalu dibacakan Surah Al-Fatihah untuk arwah Syekh Junaid.
Kemasyhuran
Syekh Junaid di Tanah Hijaz sudah dikenal luas. Buya Hamka dalam
‘Diskusi Perkembangan Islam di Jakarta,’ pada 27-30 Mei 1987 pernah
menyebutkan, pada 1925 ketika Syarif Ali (putera Syarif Husin)
ditaklukkan oleh Ibnu Saud, di antara syarat penyerahannya adalah, ”Agar
keluarga Syekh Junaid tetap dihormati setingkat dengan keluarga Raja
Ibnu Saud. Persyaratan yang diajukan Syarif Ali ini diterima oleh Ibnu
Saud.”
Karenanya hingga sekarang, keturunan Syekh Junaid ada
yang menjadi pengusaha hotel dan pedagang. Mereka bukan berdagang di
Pasar Seng, Mekkah, tapi di toko-toko. Konon, sebutan ‘Siti Rohmah.. Siti Rohmah’... yang
dilontarkan oleh para pedagang di Mekkah dan Madinah untuk para haji
perempuan dikarenakan istri Syekh Junaid Al-Batawi bernama Siti Rohmah.
Mengenai murid-murid Betawinya yang kemudian menjadi ulama
terkemuka, belum banyak diketahui kecuali Syekh Mujtaba (Syekh Mujtaba
bin Ahmad Al-Batawi) dari Kampung Mester yang dinikahkan dengan puteri
Syekh Junaid. Muridnya yang lain adalah Guru Mirshod, Ayah dari Guru
Marzuki Cipinang Muara.
Kiprah Syekh Junaid Al-Batawi sedikit
banyak terungkap dari catatan perjalanan Snouck Hurgronje, seorang
orientalis terkemuka asal Belanda saat menyusup ke Kota Makkah yang
perjalanannya ditulis dan dibukukan dengan judul Mecca in the latter part of 19th Century. Saat Snouck Hurgronje ingin bertemu ia ditolak oleh Syekh Junaid.
Menurut
Hurgronje, saat ia menyusup ke Makkah diketahui bahwa Syekh Junaid
telah bermukim di Makkah selama 60 (enam puluh) tahun, tepatnya sejak
tahun 1834. Ia membawa istri dan keempat putera-puterinya saat ia
berusia antara 35-40 tahun.
Ketika Hurgronje berada di Makkah, usia Syekh Junaid sudah mendekati 90 tahun.
Namun
demikian, di usia yang sudah lanjut tersebut, ulama Makkah masih
meminta beliau memimpin zikir dan membaca doa penutup dalam setiap
pertemuan ulama.
Syekh Junaid memiliki empat orang anak. Dua
laki-laki, yaitu As`ad dan Said; dua perempuan. Seorang puterinya
dinikahkan dengan Imam Mujtaba, asal Bukit Duri, Kampung Melayu, Jakarta
dan yang seorang lagi dinikahkan dengan Abdurrahman Al-Mishri.
Dari
perkawinan puterinya dengan Abdurrahman Al-Mishri lahir seorang
perempuan, Aminah, yang kemudian dinikahkan dengan Aqil bin Yahya yang
melahirkan Usman bin Yahya. Usman bin Yahya kemudian menjadi mitra
Snouck Hurgronje.
Menurut Ridwan Saidi, Guru Mujtaba satu
angkatan dengan ulama Indonesia Syekh Nawawi Al Bantani dan Syehh Ahmad
Khatib Al Minangkabawi. Dari sekian banyak murid Syekh Junaid, Guru
Mujtaba yang juga menantunya mendapat kehormatan dengan gelar waliyullah
oleh masyarakat Islam di Tanah Suci.
Terkadang Guru Mujtaba
pulang ke Betawi untuk menjenguk istrinya. Pada kesempatan itu ia
membawa barang dagangan dari Hijaz (Makkah dan Madinah) dan dijual di
Betawi. Ia juga membawa beberapa kitab-kitab agama.
Orang-orang
Betawi berguru kepadanya ketika ia bermukim di Makkah selama 40 tahun.
Pernikahan puteri Syekh Junaid dengan Guru Mujtaba melahirkan Guru
Marzuki, tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur.
Almarhum
Guru Marzuki kini memiliki perguruan di Rawabunga, Jakarta Timur, dan
mendapat gelar birulwalidain karena khidmatnya kepada kedua orang
tuanya. Guru Marzuki memiliki murid yang kemudian menjadi ulama
terkemuka di Indonesia, seperti KH Abdullah Syafi’i dari perguruan
Assyafiiyah dan KH Tohir Rohili dari perguruan Tohiriah di Bukitduri
Tanjakan, Jakarta Timur. Kedua perguruan Islam (Assyafiiyah dan
Tahiriah) itu kini berkembang pesat.
(Rusman Siresgar)
No comments: