sponsor

sponsor

Slider

Recent Tube

Adat dan Tradisi Betawi

Kesenian Betawi

Seniman Betawi

Rumah Adat Betawi

Ulama Betawi

Kuliner Kas Betawi

» » K.H.Guru Mughni

Tempoe Doeloe – Di kalangan masyarakat Betawi, ulama yang mengajar ilmu agama biasa disebut Guru atau Muallim. Ngaji, shalat, pergi haji, taat dan menghormati guru adalah hal pokok yang kudu dijalani. Karena, guru bagi masyarakat Betawi adalah pusaka yang harus dijaga. Sejago-jagonya Jawara Betawi, jika berhadapan dengan guru, ia akan tunduk pada guru yang alim.
Adalah Abdul Mughni bin Sanusi bin Ayub bin Qoys atau yang lebih dikenal dengan Guru Mughni . Ia merupakan ulama ternama di Tanah Betawi pada zamannya, tepatnya di abad ke-19. Hampir separuh dari ulama kenamaan di Betawi pada masa sebelum kemerdekaan adalah murid-murid beliau.Guru Mughni lahir di Kuningan Batavia, sekitar tahun 1860 dari pasangan H. Sanusi bin Ayyub dan Hj. Da’iyah binti Jeran. Beliau adalah anak bontot dari tiga bersaudara (Romli, Mahali, dan Ghozali). Dalam buku Sejarah Betawi yang ditulis Ridwan Saidi, Guru Mughni merupakan ulama Betawi generasi kelima bersama Guru Marzuki di Jatinegara, Guru Madjid di Pekojan dan Guru Mansur di Jembatan Lima, Guru Mahali  di Kebayoran, Habib Utsman di Petamburan, dan Habib Ali di Kwitang. Gurunya orang Betawi ini merupakan peletak pilar penyebaran dan pengajaran agama Islam di lingkungan masyarakat Betawi pada akhir abad 19. Dapat dipastikan, hampir sebagian penuntut ilmu agama di Batavia pada awal abad ke-20 adalah murid beliau.
Beberapa muridnya itu diantaranya, Guru Abdurrahman (dari Pondok Pinang), Guru Kasim (Mester/Jatinegara), Guru Mughni (Lenteng Agung), Guru Ilyas (Karet), Guru Raisin, Guru Hamim dan KH. M. Na’im (Cipete), H. Sa’idi (Blok A), KH. Abdullah Suhaimi (Mampang), KH. Ismail, KH. Abdurrahim dan KH. Muhammad Ma’mun (Kuningan). Semasa hidupnya, Guru Mughni menyusun Kitab Taudhih al-Dala’il fi Tarjamat Hadits al-Syama’il, ditulis dengan huruf Arab Melayu menggunakan bahasa Betawi yang “Betul-betul Asli”. Kitab tersebut terbit di percetakan Sayyid Yahya bin Uthman bin Yahya di Tanah Abang pada tahun 1926, tepatnya bulan Rajab 1349 H. Meski beliau seorang alim yang berharta, namun ia lebih mengutamakan kepentingan masyarakat, lebih-lebih dalam perjuangan membela Tanah Air. Terbukti, beliau mengizinkan rumahnya yang terletak di Jalan Mas Mansur 38, Tanah Abang, dijadikan tempat pertemuan tokoh-tokoh perkumpulan Yong Islamiten Bond oleh H. Agus Salim. Bahkan, saat Guru Mughni bermukim di Makkah, beliau selalu memberikan bantuan pinjaman kemah-kemah kepada jama’ah haji Indonesia. Dan rumah beliau yang berada di Makkah dijadikan wakaf tempat tinggal para pelajar Indonesia yang bermukim di sana.

Pengembaraan Ilmu

Hidup di era kolonial Belanda, dengan segala  bentuk intimidasi dan  diskriminasi, menyebabkan Guru Mughni tidak dapat mengenyam pendidikan formal. Demikian juga halnya dengan nasib masyarakat Betawi ketika itu. Sikap penentangan terhadap penjajahan Belanda inilah yang membuat hidup masyarakat Betawi menjadi terbelakang dan dalam kemiskinan. Sejak kecil, Guru Mughni belajar ngaji di kampungnya sendiri, Kuningan, Jakarta Selatan, dengan Guru H. Jabir hingga usia remaja. Merasa belum cukup, Guru Mughni dikirim ayahnya untuk mengkaji ilmu agama lebih dalam di Makkah. Selama sembilan tahun belajar di Makkah, beliau kembali ke Tanah Air.Setelah beberapa tahun menetap di tanah air, untuk kedua kalinya, Guru Mughni mengembara lagi ke Makkah dan bermukim disana selama 5 tahun hingga tahun 1885. Saat itu, beliau hanya belajar, tapi juga mengajar di sudut-sudut Masjidil Haram Makkah.Guru Mughni begitu tekun dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Tercatat ada 18 guru, selama merantau di Tanah Suci. Diantara guru-gurnya itu adalah Syaikh Sa’id al-Babasor (Mufti Makkah), Syaikh Abd al-Karim al-Daghostani, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki, Syaikh Muhammad Mahfudz al-Termasi, Syaikh Said Utsmani (Mufti Betawi), Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Marzuki al-Bantani dan para guru lainnya. Anggapan masyarakat Betawi betah di wilayah, tak suka merantau, terbantahkan dengan jejak rekam Guru Mughni yang merantau pada usia 18 tahun, dan menetap di Makkah selama 9 tahun ditambah 5 tahun.

Menikahi 8 Istri

Dalam buku yang ditulis oleh Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA (salah seorang cucu Guru Mughni) yang Taudhih al-Dala’il fi Tarjamat Hadits al-Syama’il karya Guru Mughni Kuningan (1860-1835)”, Guru Mughni sempat menikahi 8 orang istri. berjudul Pribadi Rasulullah Telaah Kitab
Kedelapan istrinya itu bernama, Hj. Masnun bin Sanusi (asal Pecenongan), Da’imah bin H. Cung (Kampung Baru), Zainab (Kalibata), Hj. Rodiah, Fatimah (gadis keturunan Belanda yang memeluk Islam), Mastanah (Buncit), Hj. Nelly (gadis keturunan Cina). Dari kedelapan istri yang dinikahinya, hanya dua istri yang tidak dikaruniai anak. Jika dihitung, anak beliau berjumlah 24 anak.
“Kedelapan istri beliau tidaklah dinikahinya secara bersamaan, akan tetapi satu demi satu dengan jumklah paling banyak 4 istri dalam satu masa,” kata Fathullah.
Meski dikaruniai anak yang begitu banyak, Guru Mughni sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Diantara anak-anaknya, terdapat 7 dari 10 anak laki-lakinya yang dikirim ke Makkah untuk menimba ilmu agama.  Ketika itu kondisi sosial-politik di Tanah Betawi dalam kungkungan penjajah Belanda. Akibatnya, anak-anak Guru Mughni tidak dapat belajar di Tanah Air dengan baik dan tenang. Diantara putra beliau yang mengenyam pendidikan di Makkah adalah: KH. Ahmad Mawardi, KH. Syahrowardi, KH. Rahmatullah, KH. Hasan Basri, KH. Ahmad Hajjar Malisi, KH. Ali Syibromalisi, KH. Ahmad Zarkasyi. Ulama Betawi ternama KH. Syafi’i Hadzami sampai berkata perihal kedisiplinan dan keberhasilan Guru Mughni dan mendidik anak-anaknya. “Bukan hanya kealiman dan kekayaan beliau yang mengagumkan, tetapi Guru Mughni mempunyai maziyyah (keistimewaan) yang langka dimiliki oleh ulama lainnya di Betawi, yaiu mempunyai keturunan anak cucu yang alim.”

Pengaruh Guru Mughni

Guru Mughni memiliki peran penting dalam memberikan penerangan  kepada masyarakat Betawi, khususnya soal akidah, sehingga pengaruh ajaran animisme dan dinamisme lambat laut mulai luntur. Selama mengajar, Guru Mughni menggunakan beberapa kitab. Untuk pelajaran Fiqih, misalnya, Kitab Safinatun Najab diajarkan kepada murid, dan Kitab Fathul Mu’in untuk tingkat guru. Untuk pelajaran Tauhid digunakan Kitab Kifayatul Awam, dan Kitab Tafsir Jalalain untuk pelajaran tafsir. Sedangkan pelajaran hadits digunakan Kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Sementara  Kitab Minhajul Abidin digunakan untuk pelajaran akhlak. Untuk pelajaran tata bahasa Arab (Nahwu) digunakan Kitab Alfiyah. Pada tahun 1926, Guru Mughni mendirikan sebuah madrasah di atas tanahnya sendiri yang kemudian diberi nama Sa’adatun-Darain. Madrasah ini merupakan satu-satunya madrasah yang ada di wilayah Kuningan ketika itu. Semangat yang tak kenal lelah, Guru Mughni tetap mengajar meski dalam kondi yang kurang sehat. Untuk mengajar, beliau sampai harus digotong dengan tandu untuk berdakwah di Masjid Pacandran (kini Blok S, Kebayoran Baru). Jika ada orang yang ingin mengundang Guru Mughni untuk mengajar atau hajatan, para muridnya harus menyediakan dua orang untuk menggotong sang guru dengan tandu.

 Akhir Hayat

Masyarakat Betawi berkabung, ketika Guru Mughni menghembuskan nafasnya yang terakhir. Penyakit ampeg (asma) yang dideritanya sejak muda, kambuh kembali menjelang akhir hayatnya. Pada hari Kamis, sekitar pukul 11.00 pagi, Guru Mughni memanggil anak-anak dan istri-istrinya, lalu berkumpul di sekitar kelambu (tempat beliau terbaring sakit). Guru Mughni meminta keluarganya untuk menaburkan minyak wangi di ruang kamarnya dan sekitar kelambu. Beliau juga meminta keluarganya untuk meletakkan KItab al-Qura’an dan Kitab Hadits Shahih Bukhari dan Muslim untuk diletakkan di atas bantal samping kepalanya. Kemudian beliau berkata: “Ada tamu yang mau datang.” Sekitar jam 2 siang, tamu yang ditunggu itu akhirnya datang. Guru Mughni dijemput Malaikat Maut, rebah tanpa nyawa, pada tanggal 5 Jumadil Awwal 1354 H atau tahun 1935 M. Jasad beliau dishalatkan pada hari Jum’at oleh ribuan kaum muslimin yang datang melayat, dengan diimami oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Habib Ali Kwitang). Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga di tengah-tengah Mega Kuningan.Selain meninggalkan pusaka Kitab Taudhih al-Dala’il fi Tarjamat Hadits al-Syama’il, beliau juga meninggalkan tanah wakaf yang terbilang luas di beberapa lokasi, baik di Makkah maupun Jakarta. Diantaranya adalah tanah yang sekarang berdiri Masjid Baitul Mughni dan Perguruan Islam al-Mughni di kawasan Jalan Gatot Subroto

 
 

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply

Note: only a member of this blog may post a comment.