- Pertama, munculnya kerajaan-kerajaan pada zaman sejarah.
- Kedua, kedatangan dan pengaruh penduduk dari luar Nusa Jawa.
- Terakhir, perkembangan kemajuan ekonomi daerah masing-masing.
Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno). Di
antara penduduk juga mengenal huruf hanacaraka (abjad bahasa Jawa dan Sunda).
Jadi, penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman
dahulu
Abad ke-2
Pada abad ke-2, Menurtut Yahya
Andi Saputra Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara
atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi
adalah rakyat kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perdagangan dengan Cina
telah maju. Bahkan, pada tahun 432 Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke
Cina.
Abad ke-5
Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan
Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum. Menurut Yahya, ada yang menganggap
Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibukota
kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli
Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibukota kerajaan di
tepi sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai
Bekasi. Candra berarti bulan atau sasi, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau
Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut
perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termashur
itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan
di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara
mengenal persawahan menetap. Pada zaman Tarumagara kesenian mulai berkembang.
Petani Betawi membuat orang -orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan
ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini ma sih dapat kita saksikan di
sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil mengge
rak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu. Jika panen tiba petani bergembira.
Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut
mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Pendu duk mengarak barongan yang
dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan merdeka punya kagoembiraan. Ondel-ondel
pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan juga bergembira menyambut panen
laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya
mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak
kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.
Abad ke-7
Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera. Mereka mendirikan permukiman di pesisir Jakarta. Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja. Kemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gu nung Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut baba. Tetapi ada juga yang menyebutnya babe, mba, abi atau abah — pengaruh para pendatang dari Hadra maut. Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut umi atau enya' dari kata nyonya. Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak bontot.
Abad ke-10
Pada sekitar abad ke-10. Saat terjadi persaingan
antara orang Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan wong Jawa yang tak lain
adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Cina
ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian
tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah Barat mulai dari Cimanuk
dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri.
Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.
Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra
di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa
bagian barat. Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan
migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah
terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya –
karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin awal – bahasa Melayu
yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di
Kerajaan Kalapa. Sejarahwan Ridwan Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu
orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup
sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu),
bukan “musim kulon” (bahasa Sunda), orang-orang di desa pinggiran Jakarta
mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan
bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.
Abad ke-16
Perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Pajajaran)
dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk
membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran
antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran
Portugis. Dari komunitas ini lahir musik Keroncong atau dikenal sebagai
Keroncong Tugu.
Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan
niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian
dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak
dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik
perbudakan. Itulah penyebab masih tersisanya kosa kata dan tata bahasa Bali
dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku
bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di
kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana
pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama
tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai
suku bangsa ke Batavia, Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung
Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jl.
Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad
ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
Abad ke-20
Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell
University, Amerika, Lance Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal
usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of
Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad
19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi
budak di Batavia.
Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi
menurut Castles dapat ditelusuri dari:
- Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
- Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
- Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
- Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan
itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan
gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad 19 hingga awal
abad 20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak
mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data
sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan walaupun hasil kajian yang
dilakukan Lance Castles mendapatkan banyak kritikan karena hanya
menitikberatkan kepada skesta sejarah yang baru ditulis tahun 1673.
Mengikuti kajian Lance Castles antropolog Universitas
Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. memperkirakan etnis Betawi baru
terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan
atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan
Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan
sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data
sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai
golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil
sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya
ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Melayu, orang Bali, Jawa, Sunda,
orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda. Kemungkinan
kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan
penduduk pribumi (bahasa Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap
ke dalam kelompok etnis Betawi.
Sepuluh tahun setelah pengumuman hasil penelitian
Lance Castles yakni pada tahun 1977 arkeolog Uka Tjandarasasmita mengemukakan monografinya
"Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan
Pajajaran (1977)". Uka memang tidak menyebut monografinya untuk menangkis
tesis Castles, tetapi secara arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat
dan ilmiah tentang sejarah penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum
Tarumanagara pada abad 5.
Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman neolitikhum
atau batu baru (3500 – 3000 tahun yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya di
mana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali
Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat
manusia. Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia itu antara lain
Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi,
Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu,
Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat,
Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar
hampir di seluruh wilayah Jakarta.
Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu,
seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai
gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal
pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin
telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur
Suku Betawi
Pada zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang
Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru
dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan
menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Namun menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli
Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum masehi.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi
Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan
kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka
lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti
orang Kemayoran, orang Senen, atau orang
Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah
kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih
luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Pemoeda Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang
Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. berpendapat bahwa hingga beberapa
waktu yang lalu penduduk asli Jakarta mengidentifikasikan dirinya sebagai orang
Melayu atau menurut lokasi tempat tinggal mereka, seperti
orang Kwintang; orang Kemayoran; orang Tanahabang dan seterusnya. Setelah tahun
1970-an yang merupakan titik balik kebangkitan kebetawian di Jakarta telah
terjadi pergeseran lebel dari Melayu ke Betawi. Orang yang dulu menyebut
kelompoknya sebagai Melayu telah menyebut dirinya sebagai orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak
hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh
Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut
masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah
menggunakan bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Brunei dan Thailand Selatan yang kemudian dijadikan sebagai bahasa Indonesia.
No comments: